Ketegangan geopolitik antara dua raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat (AS) dan China, kembali memanas. Setelah sempat mereda, peningkatan perang dagang AS-China berpotensi besar mengacaukan kembali tatanan ekonomi global, dan salah satu sektor yang paling rentan adalah industri otomotif. Dengan saling ketergantungan yang rumit pada komponen mulai dari chip semikonduktor, baterai, hingga suku cadang sederhana, eskalasi tarif dan kebijakan pembatasan lainnya memaksa produsen mobil di seluruh dunia untuk menyusun ulang strategi rantai pasok mereka secara radikal.
Rantai pasok otomotif telah menjadi jaringan yang sangat terintegrasi selama beberapa dekade. China bukan hanya pasar terbesar di dunia untuk mobil baru, tetapi juga produsen dan pemasok komponen utama yang tak tertandingi. Sebagian besar produsen mobil global, termasuk merek-merek Amerika, Eropa, Jepang, dan Korea Selatan, sangat bergantung pada komponen yang diproduksi di China untuk perakitan di pabrik-pabrik di seluruh dunia. Ketika ancaman tarif melonjak, biaya produksi otomatis meroket, dan stabilitas pengiriman terancam, menciptakan gelombang ketidakpastian yang signifikan.
Dampak Langsung Tarif dalam Perang Dagang AS-China
Gemerincing senjata tarif kembali terdengar dengan keras. Kebijakan seperti penerapan tarif dasar sebesar 10% oleh AS pada hampir semua impor dari China—yang dapat meningkat tajam—dan tarif yang jauh lebih tinggi (misalnya, 25% atau lebih) untuk kendaraan dan komponen otomotif tertentu, memberikan tekanan biaya yang tak terhindarkan.
Pertama, dampak paling langsung adalah pada harga kendaraan. Produsen tidak bisa begitu saja menyerap kenaikan biaya tarif yang besar. Kenaikan harga impor komponen akan diteruskan kepada konsumen akhir, membuat mobil baru menjadi lebih mahal di AS dan berpotensi di pasar lain juga, yang pada akhirnya dapat menekan volume penjualan. Bahkan, S&P Global telah memperkirakan potensi penurunan volume penjualan di AS akibat rezim tarif yang lebih tinggi ini. Selain itu, kenaikan harga mobil baru secara alami akan mendorong kenaikan harga mobil bekas, membebani daya beli masyarakat.
Kedua, terjadi fenomena yang disebut tariff stacking, di mana tarif dikenakan berulang kali pada komponen saat melintasi berbagai perbatasan, baik pada komponen maupun kendaraan jadi. Hal ini memperparah kenaikan harga dan kerumitan logistik. Perusahaan yang memproduksi atau menjual kendaraan rakitan di AS tetapi mengandalkan suku cadang China menghadapi kesulitan ganda. Raksasa otomotif Amerika seperti Ford dan General Motors, meskipun memiliki volume impor kendaraan utuh dari China yang kecil, sangat bergantung pada impor suku cadang mobil dari negara tersebut yang nilainya mencapai miliaran dolar per tahun.
Strategi Dekopling dan Diversifikasi Rantai Pasok
Menghadapi ketidakpastian yang terus-menerus ini, perusahaan otomotif global mengambil langkah agresif untuk “mendekopling” atau memisahkan rantai pasok mereka dari ketergantungan tunggal pada China. Strategi yang paling dominan saat ini adalah “China+1” atau “China+N,” di mana perusahaan mempertahankan operasional di China untuk pasar domestik mereka, namun mulai memindahkan sebagian produksi untuk pasar global ke negara-negara lain.
Fenomena ini memicu tren relokasi industri besar-besaran. Wilayah yang paling diuntungkan adalah negara-negara di Asia Tenggara, seperti Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Indonesia, serta Meksiko (nearshoring untuk pasar Amerika Utara). Negara-negara ini menawarkan biaya tenaga kerja yang kompetitif dan saat ini tidak dikenakan tarif hukuman yang sama oleh AS. Namun, relokasi ini bukan tanpa tantangan. Membangun pabrik baru, mengembangkan ekosistem pemasok lokal, dan melatih tenaga kerja memerlukan investasi modal yang sangat besar dan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk matang.
Pergeseran ini juga menuntut perubahan dalam sektor logistik dan transportasi. Penyedia logistik harus beradaptasi dengan rute perdagangan, pusat sumber komponen, dan lokasi perakitan yang baru. Di tengah semua ini, visibility atau kemampuan perusahaan untuk melacak secara real-time pemasok tingkat 2 dan tingkat 3 menjadi jauh lebih krusial. Ketidakmampuan untuk melihat ketergantungan yang lebih dalam pada komponen China dapat mengekspos perusahaan terhadap risiko gangguan atau denda yang tidak terduga.
Tantangan Transisi Kendaraan Listrik dalam Perang Dagang AS-China
Peran China dalam transisi energi bersih dan kendaraan listrik (EV) memperumit situasi ini. China mendominasi produksi baterai, mineral penting, dan banyak komponen canggih EV lainnya, seperti baterai LFP. Kebijakan tarif yang meningkat pada kendaraan listrik China, seperti yang pernah diumumkan oleh Pemerintahan Biden (tarif 100%), menunjukkan bahwa sektor ini menjadi arena pertempuran dagang yang baru.
Bagi AS, memutus rantai pasok EV dari China adalah tujuan strategis untuk keamanan nasional dan keunggulan teknologi. Namun, hal ini sulit dilakukan dalam jangka pendek tanpa menyebabkan guncangan besar pada biaya dan ketersediaan EV. Ketergantungan global pada China, terutama untuk mineral penting (seperti rare earth elements) dan pemrosesan komponen baterai, berarti upaya untuk mandiri akan sangat mahal dan memakan waktu.
Di sisi lain, produsen mobil yang berinvestasi di China, seperti Tesla, mungkin perlu melakukan penyesuaian operasional untuk memastikan model yang diekspor ke AS dan pasar barat lainnya tidak terkena tarif yang sangat tinggi. Bagi negara-negara seperti Indonesia, situasi ini dapat menjadi peluang strategis untuk menarik investasi dalam rantai pasok EV, terutama untuk hilirisasi nikel dan produksi baterai, yang dapat berfungsi sebagai basis produksi alternatif.
Indonesia sebagai Alternatif dalam Konflik Dagang
Ketidakpastian yang diciptakan oleh peningkatan perang dagang AS-China dapat menjadi anugerah bagi negara-negara yang siap. Indonesia, yang tidak terlibat langsung dalam konflik tarif ini, dapat menarik manfaat dari pergeseran investasi manufaktur dari China.
Para analis, termasuk Dewan Ekonomi Nasional (DEN), melihat potensi besar Indonesia untuk menarik relokasi pabrik, terutama di sektor padat karya dan otomotif. Namun, agar dapat sepenuhnya memanfaatkan peluang ini, Indonesia perlu melakukan perbaikan iklim investasi, meningkatkan kepastian hukum, dan mempercepat reformasi birokrasi, seperti yang disarankan oleh para ahli. Hanya dengan infrastruktur dan kebijakan yang kondusif, Indonesia dapat bersaing dengan negara-negara tetangga seperti Vietnam dan Thailand untuk menjadi simpul rantai pasok otomotif global yang baru.
Pada akhirnya, eskalasi perang dagang AS-China bukan hanya sekadar konflik bilateral mengenai tarif, tetapi juga pemicu perubahan fundamental dalam cara dunia memproduksi dan memperdagangkan mobil. Ini adalah pengingat yang jelas tentang betapa rapuhnya rantai pasok global dan pentingnya membangun ketahanan di masa depan.
Baca juga:
- Diskon Mahal Mobil Listrik Akibat Hilangnya Kredit Pajak
- Malam Gemerlap Penghargaan Dealer Terbaik untuk Bekerja 2025
- Ford Batalkan Kredit Sewa EV $7.500, Ikuti Jejak General Motors
Informasi ini dipersembahkan oleh indocair

